Mark Zuckerberg Rekrut Ilmuwan AI dengan Tawaran Gaji Hingga Rp1,6 Triliun
Di tengah persaingan teknologi yang semakin panas, satu hal yang mencuri perhatian adalah tawaran gaji senilai 100 juta dolar AS atay sekitar Rp1,6 triliun dari CEO Meta, Mark Zuckerberg.
Tawaran fantastis ini ditujukan untuk merekrut ilmuwan AI paling brilian ke dalam unit barunya: Superintelligence Labs.
Divisi tersebut dibentuk untuk satu misi besar: menciptakan kecerdasan buatan yang melampaui kapasitas otak manusia.
Bagi banyak orang, langkah ini tampak berlebihan, apalagi Meta sudah menghasilkan miliaran dolar dari produk-produk seperti Facebook dan Instagram.
Namun di balik langkah ambisius ini, ada potensi besar yang sedang diperebutkan raksasa teknologi dunia, termasuk Google dan OpenAI.
AI tingkat tinggi bukan sekadar alat, melainkan “tambang emas” masa depan yang bisa mengubah arah industri secara menyeluruh.
Meski Meta tidak memulai lebih dulu dalam perlombaan ini, Zuckerberg mengambil langkah cepat dan agresif. Dalam waktu singkat, ia berhasil merekrut sejumlah tokoh ternama dari kompetitor.
Di antaranya adalah Lucas Beyer salah satu pencipta vision transformer dari OpenAI, Ruoming Pang dari Apple yang memimpin pengembangan model AI, dan Alexandr Wang, mantan CEO Scale AI yang kini menjadi rekan Zuckerberg memimpin Superintelligence Labs.
Untuk mendapatkan Wang, Meta disebut-sebut menggelontorkan dana miliaran dolar. Hasilnya langsung terlihat.
Beberapa nama besar lain pun ikut bergabung, seperti investor Nat Friedman dan Daniel Gross, serta Ilya Sutskever mantan kepala ilmuwan OpenAI dan pendiri Safe Superintelligence.
Dalam arus perkembangan AI yang semakin cepat, para pakar di bidang ini kini mulai merasa harus segera ambil bagian dan tak ingin tertinggal dalam perlombaan membangun kecerdasan buatan super.
Meski publik kerap mengira tawaran uang besar adalah alasan utama ilmuwan AI bergabung dengan Meta, kenyataannya tidak sesederhana itu. Sebagian besar dari mereka sudah berada di puncak finansial.
Yang mereka kejar bukan lagi kekayaan, melainkan pengakuan: menjadi penemu di balik teknologi AI generasi baru, atau tercatat dalam jurnal ilmiah ternama seperti Nature.
Faktor lain yang membuat Meta menarik adalah sikap Zuckerberg terhadap AI open-source, terutama lewat proyek lama.
Banyak peneliti menghargai pendekatan ini, karena percaya bahwa AI terbuka dapat menciptakan dampak yang lebih merata dan adil secara global.
Pendekatan serupa pernah dilakukan OpenAI di masa awalnya sebelum akhirnya beralih ke model yang lebih tertutup dan komersial.
Namun, pilihan Meta untuk membagikan teknologinya secara gratis juga menuai pertanyaan dari investor. Terutama karena model Llama saat ini belum mampu menyaingi performa AI dari Google DeepMind atau OpenAI.
Bahkan, salah satu versi Llama hanya berada di peringkat ke-17 dalam daftar peringkat AI real-time dan membutuhkan biaya operasional yang relatif tinggi.