Menguak Jurus Orang Superkaya Hindari Pajak di Indonesia

Siliput.com, Jakarta - Sistem pajak di Indonesia selama ini diharapkan menjadi tulang punggung pembiayaan negara. Namun, kenyataannya, penerapannya belum sepenuhnya mampu menjangkau semua sumber pendapatan, terutama dari kalangan orang superkaya yang memiliki kekayaan sangat besar dan beragam.

Menguak Jurus Orang Superkaya Menghindari Pajak di Indonesia

Salah satu celah yang sering dimanfaatkan adalah capital gain atau keuntungan modal yang belum direalisasikan.

Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengungkap strategi yang kerap digunakan kelompok superkaya di Indonesia untuk mengurangi atau bahkan menghindari beban pajak.

Dalam pemaparannya, ia menegaskan bahwa praktik ini tidak selalu ilegal, tetapi memanfaatkan kelemahan sistem yang ada.

Siapa yang Dimaksud “Orang Superkaya”?

Menurut Media, definisi “superkaya” di sini bukan sekadar orang dengan penghasilan Rp 40 juta atau Rp 100 juta per bulan. Kelompok ini merujuk pada individu atau keluarga yang mampu meraup pendapatan puluhan miliar rupiah setiap bulan dari berbagai sumber, baik di dalam maupun luar negeri. Kekayaan mereka sering kali terdiversifikasi dalam bentuk saham, obligasi, properti, bisnis multinasional, hingga aset digital.

Masalahnya, sistem pajak Indonesia belum mampu menjangkau semua jenis pendapatan tersebut secara optimal, khususnya untuk capital gain yang belum direalisasikan. Artinya, jika seseorang memiliki kenaikan nilai aset—misalnya saham atau properti—namun belum dijual, keuntungan tersebut belum dikenai pajak. Celah inilah yang menjadi salah satu andalan orang superkaya untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka.

Media bahkan mengutip pernyataan miliarder dunia, Warren Buffett, yang pernah mengkritik sistem pajak di negaranya. Buffett menyebut bahwa orang superkaya sering kali membayar pajak dalam persentase yang lebih kecil dibandingkan pegawai biasa. Alasannya, banyak keuntungan yang mereka peroleh masih berupa potensi (unrealized gain) yang belum dikenakan pajak.

“Bahkan Warren Buffett pun bilang, orang superkaya tidak membayar pajak secara signifikan karena mereka sendiri sulit melaporkan secara self-assessment berapa perputaran uang yang sebenarnya ada di kantongnya. Begitu banyak capital gain yang belum direalisasikan,” ujar Media dalam acara Launching Riset Celios bertajuk ‘Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang’, di Kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

Beban Pajak Tidak Proporsional

Kondisi ini menyebabkan kontribusi pajak dari kelompok terkaya menjadi tidak sebanding dengan kekayaan yang mereka miliki. Sebaliknya, sebagian besar beban pajak justru ditanggung oleh kelompok menengah dan menengah ke bawah yang pendapatannya lebih mudah terlacak oleh sistem.

Misalnya, karyawan dengan gaji tetap dikenai potongan PPh langsung setiap bulan, sedangkan pemilik modal besar memiliki berbagai cara untuk mengatur laporan pendapatan sehingga kewajiban pajak menjadi minimal.

Jurus Tax Haven dan Perusahaan Cangkang

Salah satu strategi yang paling populer di kalangan superkaya adalah memanfaatkan negara tax haven. Negara-negara ini memiliki tarif pajak sangat rendah, bahkan ada yang nol persen, serta sistem kerahasiaan finansial yang ketat. Beberapa contoh yang dikenal luas antara lain British Virgin Islands, Cayman Islands, dan Panama.

Skemanya biasanya melibatkan pendirian perusahaan cangkang (shell company) di negara tersebut. Selanjutnya, aset atau transaksi bisnis dialihkan dan dicatat atas nama perusahaan luar negeri itu. Dengan cara ini, keuntungan secara resmi diakui di wilayah tax haven sehingga tidak dikenai pajak di Indonesia atau dikenakan dalam jumlah yang sangat kecil.

Media menjelaskan bahwa praktik ini bukan hal baru dan telah menjadi pembahasan panjang dalam isu pajak berkeadilan.

“Kondisi ini terus menjadi diskusi selama beberapa tahun terakhir. Orang kaya menaruh asetnya di luar negeri, membuat perusahaan cangkang, lalu melakukan transaksi atas nama perusahaan tersebut. Implikasinya, penerimaan pajak negara menjadi tidak optimal,” katanya.

Perlunya Reformasi Pajak Lintas Negara

Menghadapi praktik seperti ini, Media menilai reformasi pajak harus dilakukan secara komprehensif. Tidak cukup hanya mengandalkan regulasi domestik, Indonesia perlu aktif dalam kerja sama internasional, termasuk memanfaatkan skema pertukaran informasi pajak otomatis (Automatic Exchange of Information / AEOI) yang telah disepakati banyak negara.

Langkah yang bisa ditempuh antara lain:

  1. Memperkuat aturan pelaporan aset luar negeri secara detail dan berkala.
  2. Mengoptimalkan kerja sama dengan negara-negara lain untuk mendapatkan data kepemilikan aset warga Indonesia di luar negeri.
  3. Memperluas basis pajak dengan menjangkau capital gain yang belum direalisasikan, jika memungkinkan secara teknis dan hukum.
  4. Menutup celah regulasi yang sering dimanfaatkan untuk mengalihkan pendapatan ke wilayah bebas pajak.

Pajak Progresif dan Keadilan Ekonomi

Media menekankan bahwa sistem pajak progresif harus benar-benar diterapkan pada semua jenis pendapatan, tidak hanya gaji atau pendapatan rutin, tetapi juga keuntungan modal, dividen, dan bentuk penghasilan lain yang sering tidak terjangkau sistem.

Menurutnya, kebijakan pajak yang berkeadilan bisa membantu mengurangi kesenjangan ekonomi yang semakin melebar. Dengan kontribusi yang lebih proporsional dari kelompok superkaya, negara akan memiliki ruang fiskal lebih besar untuk membiayai program-program publik, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.

“Semua problem ekonomi ini mungkin bisa diselesaikan dengan sistem pajak yang berkeadilan. Tantangannya memang besar, tetapi tanpa reformasi, jurang antara kelompok terkaya dan masyarakat umum akan terus melebar,” pungkasnya.