BAB 3 Renegade Immortal : Ujian Menjadi Murid Sekte Hung Yue

Wang Zhuo terpaku oleh pemandangan di hadapannya. Butuh waktu cukup lama baginya untuk tersadar kembali.

Wang Lin mengikuti ujian menjadi murid Sekte Heng Yue dalam Bab 3 Renegade Immortal

Kesombongan yang selama ini mengisi hatinya perlahan menyusut, tergantikan oleh rasa kagum yang sulit dijelaskan.

Tak lama kemudian, beberapa pedang bercahaya berwarna pelangi melesat turun dari langit menuju area tersebut.

Setiap kali sebuah pedang menghilang, muncul seorang murid Sekte Heng Yue. Di belakang masing-masing murid, berdiri beberapa anak berusia sekitar lima belas tahun.

Di antara mereka ada pemuda dan pemudi. Saat mendarat, ekspresi wajah mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok Wang Lin, penuh keterkejutan saat menatap pemandangan megah di depan mata.


Kedatangan Para Kandidat di Sekte Heng Yue

Para murid Sekte Heng Yue yang membawa para calon murid itu berkumpul di satu sisi, saling berbincang sambil sesekali melirik para pemuda.

Setelah menunggu beberapa saat, seluruh kandidat yang direkomendasikan akhirnya berkumpul lengkap di dalam sekte.

Seorang pria paruh baya berpakaian hitam melangkah maju dan mengamati kerumunan dengan tatapan datar.

Kemudian, dengan suara dingin tanpa emosi, ia berkata, “Di antara kalian semua, hanya sebagian kecil yang akan dipilih menjadi murid Sekte Heng Yue.”

Ucapan itu langsung memicu kegemparan. Beberapa pemuda berseru kaget. Jantung Wang Lin berdegup kencang.

Ia dengan cepat menghitung jumlah peserta dan mendapati ada empat puluh delapan orang yang mengikuti ujian kali ini.


Ujian Jiwa : Seleksi Awal Murid Sekte Heng Yue

“Jalan kultivasi menuju keabadian bergantung pada bakat alami masing-masing,” lanjut pria paruh baya itu. “Ujian pertama adalah menilai apakah jiwa kalian cukup kuat. Sekarang, siapa pun yang kutunjuk, maju dan ikuti ujian.”

Tanpa ekspresi, ia menunjuk seorang pemuda.

Pemuda itu melangkah maju dengan hati-hati. Kakinya gemetar, napasnya tidak teratur.

Pria paruh baya itu mengangkat tangannya dan meletakkannya di atas kepala pemuda tersebut, lalu berkata singkat, “Tidak memenuhi syarat. Berdiri di sebelah kiri.”

Seolah seluruh tenaga dalam tubuhnya terkuras, pemuda itu terdiam. Wajahnya muram, sorot matanya kosong. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah ke sisi kiri dengan langkah berat.

Kemudian, seorang pemuda lain dipanggil. Ia melangkah maju dengan wajah pucat dan ekspresi penuh ketakutan.

“Tidak memenuhi syarat.”

Pemuda berikutnya maju.

“Tidak memenuhi syarat.”

Lalu yang berikutnya lagi.

“Tidak memenuhi syarat.”


Keberuntungan Wang Zhuo dan Wang Hao

Sepuluh orang berturut-turut gagal melewati ujian. Hingga saat itu, belum satu pun berdiri di sisi kanan pria paruh baya tersebut.

Kini giliran Wang Zhuo.

Seluruh rasa percaya diri dan kesombongan yang sebelumnya terpancar darinya lenyap tanpa jejak. Dengan wajah pucat dan napas tertahan, ia melangkah maju.

“Siapa namamu?” tanya pria paruh baya itu dengan nada datar.

Wang Zhuo segera menundukkan kepala dan menjawab dengan hormat, “Abadi, namaku Wang Zhuo.”

Pria paruh baya itu mengangguk. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Jadi, kaulah yang disebut oleh Guru Bela Diri. Bagus. Wang Zhuo, berdirilah di sebelah kanan.”

Hati Wang Zhuo langsung dipenuhi kegembiraan. Ia berjalan ke sisi kanan di bawah tatapan penuh kekaguman.

Saat menoleh ke arah kerumunan, sorot matanya kembali dipenuhi kesombongan dan rasa meremehkan, seolah tak ada seorang pun yang layak disejajarkan dengannya.

“Sialan, dia benar-benar anjing yang beruntung,” gumam Wang Hao pelan kepada Wang Lin, bibirnya melengkung sinis.

Jantung Wang Lin semakin menegang. Dalam benaknya terbayang wajah orang tuanya yang penuh harap. Ia mengepalkan tinjunya erat-erat, menahan gejolak di dalam dada.

“Lumayan. Kamu juga berdiri di sebelah kanan,” ujar pria paruh baya itu dengan nada sedikit terkejut kepada seorang gadis muda di hadapannya.

Waktu terus berlalu. Hampir semua pemuda telah menjalani ujian. Hingga saat itu, hanya dua orang yang berdiri di sisi kanan pria paruh baya tersebut.

Berikutnya adalah Wang Hao.

Begitu namanya dipanggil, Wang Hao segera berlari maju. Namun sebelum pria paruh baya itu sempat memulai ujian, Wang Hao tiba-tiba berlutut dan bersujud beberapa kali.

“Abadi, semoga Anda panjang umur!” serunya dengan wajah penuh senyum. “Namaku Wang Hao. Anda telah menguji begitu banyak orang, pasti sangat lelah. Mengapa tidak beristirahat sejenak? Aku tidak terburu-buru, sungguh tidak masalah.”

Ucapan itu membuat pria paruh baya tersebut tertawa terbahak-bahak. Ia telah melihat banyak wajah ketakutan hari ini, tetapi pemuda licik ini justru berusaha mengambil hati tanpa sedikit pun rasa gentar.

Ia menekan telapak tangannya ke kepala Wang Hao dan berkata, “Bakatmu kurang. Tidak—”

Begitu mendengar kata kurang, hati Wang Hao langsung terjun bebas. Tanpa menunggu kalimat itu selesai, ia dengan cepat mengeluarkan sebuah kotak giok dan mengangkatnya ke depan.

“Dewa,” katanya dengan penuh hormat, “ayahku menemukan benda ini secara tidak sengaja di pegunungan, tetapi tidak mampu membukanya. Aku membawanya khusus untuk dipersembahkan kepada Dewa.”

Pria paruh baya itu terkekeh dan menggelengkan kepala, berniat menolak. Namun saat pandangannya jatuh pada kotak giok tersebut, pupil matanya tiba-tiba menyusut. Seketika, wajahnya berseri-seri.

“Tidak buruk!” katanya sambil tertawa kecil. “Ini jamur roh berusia setidaknya tiga ratus tahun. Kotak giok ini jelas disegel oleh seorang kultivator. Tidak heran ayahmu tidak bisa membukanya.”

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang sedikit berubah, “Kebetulan aku membutuhkan seorang pembantu untuk alkimia. Apakah kamu bersedia menjadi penolongku?”

Wang Hao tertegun sejenak, lalu segera bangkit berdiri. Perbedaan perlakuan itu bagaikan langit dan bumi, membuat hatinya dipenuhi kegembiraan yang luar biasa.

“Bersedia, Dewa! Aku bersedia!” serunya tanpa ragu.

Pria paruh baya itu terkekeh. “Karena kamu akan menjadi pembantuku, tentu aku tidak akan memperlakukanmu dengan buruk. Kamu bisa berkultivasi bersama murid-murid lainnya. Berdirilah di sebelah kanan.”

Wang Hao diliputi kegembiraan yang tak tertahankan. Ia berlari ke sisi kanan sambil melirik Wang Zhuo dengan tatapan penuh kemenangan, seolah ingin memamerkan keberhasilannya.

Sementara itu, wajah para pemuda yang gagal berubah pucat pasi. Tekanan di dalam hati mereka tak terbendung. Beberapa di antaranya bahkan tak kuasa menahan air mata dan mulai terisak.

Melihat hal itu, pria paruh baya tersebut mengerutkan kening. Dengan suara tegas ia berteriak, “Usir semua yang mulai menangis!”

Beberapa murid Sekte Heng Yue segera melangkah maju. Tanpa memberi kesempatan untuk berkata apa pun, mereka membawa para pemuda yang menangis itu dan menghilang bersama kilatan pedang cahaya.


Kegagalan Wang Lin dalam Ujian Jiwa

Kemudian, pria paruh baya itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Wang Lin.

Wang Lin menarik napas dalam-dalam. Dengan langkah gugup, ia berjalan ke hadapan pria paruh baya tersebut. Pikirannya kosong, seolah terhisap oleh ketegangan.

Di dalam hatinya, ia terus berdoa, dan tanpa sadar terbayang kembali tatapan penuh harapan dari kedua orang tuanya.

Aku pasti akan terpilih! Tekad itu menggema kuat di dalam benaknya.

Telapak tangan pria paruh baya itu menekan kepala Wang Lin. Wajahnya tetap datar, tanpa sedikit pun perubahan emosi, sebelum akhirnya mengucapkan dua kata yang paling ditakuti Wang Lin.

“Tidak memenuhi syarat.”

Wang Lin bahkan tak ingat bagaimana dirinya bisa berjalan ke sisi kiri. Yang ia rasakan hanyalah dengungan keras di telinganya, bagaikan guntur musim semi, dan gema dua kata itu yang terus berputar di dalam kepalanya.

Tak lama kemudian, semua pemuda telah menjalani ujian. Pada akhirnya, hanya tiga orang yang berdiri di sisi kanan.

Di mata kerumunan, ketiganya tampak begitu tinggi dan tak tersentuh, seolah berada di dunia yang berbeda.

Wang Zhuo menatap Wang Lin dengan ekspresi penuh penghinaan, tanpa sedikit pun menyembunyikan rasa jijiknya.

Pria paruh baya itu kembali berbicara. “Meskipun jiwa yang kuat diperlukan untuk menjadi seorang kultivator, ketekunan bahkan lebih penting. Bahkan pemuda biasa sepertimu masih memiliki kesempatan untuk menjadi murid sekte, asalkan memiliki ketekunan yang cukup!”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara datar, “Ujian kedua adalah ketekunan. Ikuti jalur yang telah ditentukan. Jika kamu mencapai puncak, kamu lulus. Jika dalam waktu tiga hari kamu gagal menyelesaikannya, maka kamu gugur. Mereka yang gagal akan dikembalikan kepada keluarga masing-masing. Jika kamu tidak mampu melanjutkan atau menghadapi bahaya, cukup berteriak keras. Seseorang akan datang untuk menyelamatkanmu.”

Setelah itu, pria paruh baya tersebut tersenyum tipis ke arah tiga orang di sisi kanan. “Kalian berdua, ikut aku untuk menemui patriark. Sekte juga akan mencarikan kalian guru masing-masing.”

Ia lalu menoleh ke arah Wang Hao dan berkata, “Wang Hao, kamu tidak perlu ikut. Datanglah bersamaku ke rumah alkimia. Biasakan dirimu dengan lingkungan di sana.”

Setelah lelaki paruh baya itu selesai memberikan instruksi, ia membawa tiga pemuda terpilih dan segera menghilang ke arah pegunungan.

Wang Lin menarik napas panjang. Matanya dipenuhi tekad. Tanpa ragu sedikit pun, ia melangkahkan kaki ke atas tangga batu dan memulai ujian ketekunan.

Selain tiga pemuda terpilih dan enam pemuda yang menangis lalu dibawa pergi, tersisa tiga puluh sembilan orang di tempat itu.

Di antara mereka, ada yang dipenuhi tekanan, ada yang membara oleh tekad, dan ada pula yang diliputi ketakutan. Masing-masing melangkah menuju masa depan yang berbeda.