BAB 1 Renegade Immortal : Wang Lin Meninggalkan Rumah
Tie Zhu duduk seorang diri di tepi jalan sempit desa, pandangannya kosong menembus langit yang cerah. Nama Tie Zhu sebenarnya hanyalah sebutan, bukan nama yang ia bawa sejak lahir.
![]() |
| Awal kisah Wang Lin dalam Renegade Immortal Bab 1 sebelum memasuki Sekte Heng Yue. |
Semasa kecil, tubuhnya lemah dan sering sakit, membuat sang ayah takut ia tak berumur panjang.
Karena itu, sesuai kebiasaan lama, ia diberi nama panggilan tersebut sebagai bentuk harapan agar ia bisa bertahan hidup.
Nama aslinya adalah Wang Lin. Keluarga Wang dikenal sebagai salah satu keluarga terpandang di wilayah tersebut, berprofesi sebagai pengrajin kayu.
Usaha mereka cukup besar dan memiliki beberapa toko yang menjual berbagai hasil olahan kayu, sehingga nama keluarga Wang cukup disegani oleh masyarakat sekitar.
Ayah Tie Zhu merupakan anak kedua dari keluarga itu. Ia terlahir dari seorang selir, sehingga tidak memiliki hak untuk meneruskan usaha utama keluarga.
Setelah menikah, ia memilih meninggalkan rumah besar keluarga Wang dan menetap di desa kecil tempat mereka tinggal sekarang.
Meski demikian, ayahnya memiliki keahlian tinggi sebagai tukang kayu. Berkat keterampilan itu, kehidupan keluarga Tie Zhu tergolong berkecukupan.
Mereka tidak pernah kekurangan sandang maupun pangan, dan keluarga kecil itu mendapat penghormatan dari penduduk desa.
Kecerdasan Tie Zhu dan Harapan Orang Tua
Sejak kecil, Tie Zhu sudah menunjukkan kecerdasan yang menonjol. Ia gemar membaca dan sering tenggelam dalam pemikiran-pemikiran yang jauh melampaui anak seusianya.
Banyak warga desa menganggapnya sebagai anak berbakat. Setiap kali pujian itu sampai ke telinga ayahnya, wajah yang biasanya serius akan melunak, digantikan oleh senyum penuh kebanggaan.
Ibunya pun mencurahkan kasih sayang sepenuhnya. Tie Zhu tumbuh dalam perhatian dan harapan besar dari kedua orang tuanya.
Saat anak-anak lain seusianya sibuk membantu orang tua di ladang, ia justru menghabiskan waktu di rumah, ditemani buku-buku bacaannya.
Semakin banyak pengetahuan yang ia serap, semakin luas pula pikirannya melayang. Dalam hatinya tumbuh kerinduan akan dunia di luar desa kecil ini.
Tie Zhu mengangkat wajahnya, menatap ujung jalan yang seolah mengarah ke tempat yang jauh. Setelah menarik napas pelan, ia menutup bukunya, bangkit berdiri, lalu melangkah pulang.
Tie Zhu menjawab singkat sambil berlalu. Ayahnya mengetuk pipa untuk menjatuhkan abu, lalu berdiri dan menatap anaknya dengan wajah serius.
Ia berkata, "Tie Zhu, kamu harus benar-benar belajar dengan sungguh-sungguh. Tahun depan adalah ujian distrik. Masa depanmu ditentukan di sana. Jangan sampai hidupmu berakhir seperti ayah, menghabiskan seluruh waktu di desa ini."
Ibunya segera menyela. Sambil membawa hidangan dan meletakkannya di atas meja, ia berkata, "Sudahlah, kamu mengeluh soal ini setiap hari. Menurutku, Tie Zhu pasti bisa lulus ujian." Ia lalu memanggil mereka berdua untuk makan.
Tie Zhu menjawab pelan dan duduk menyantap makanan dengan tenang. Ibunya menatapnya penuh kasih, lalu mengambilkan beberapa potong daging dan menaruhnya ke dalam mangkuknya.
Setelah beberapa saat, Tie Zhu mengangkat kepala dan bertanya, "Ayah, apakah Paman Keempat sudah hampir tiba?"
Ayahnya mengangguk pelan dan menjawab, "Kalau dihitung waktunya, seharusnya beberapa hari lagi. Paman keempatmu jauh lebih berhasil dibandingkan ayah."
Ia lalu menoleh ke istrinya dan bertanya, "Apakah semua hidangan khusus untuk menyambutnya sudah disiapkan?" Saat menyebut Paman Keempat, raut wajahnya tampak sedikit muram.
Ibunya mengangguk dan berkata dengan nada lembut, "Tie Zhu, paman keempatmu adalah orang yang sangat baik. Selama ini, berkat bantuannya, ukiran kayu ayahmu selalu laku. Jika kelak kamu berhasil, jangan lupa membalas kebaikannya."
Kedatangan Paman Keempat dan Takdir Baru
Belum lama ia selesai berbicara, terdengar suara derap kuda dari luar, disusul tawa riang dan bunyi kereta yang mendekat. Sebuah suara lantang terdengar dari depan gerbang, "Kakak Kedua, buka pintunya!"
Tie Zhu terkejut dan segera berlari ke depan untuk membuka gerbang. Di luar berdiri seorang pria paruh baya bertubuh tegap dengan sorot mata cerah.
Melihat Tie Zhu, pria itu tertawa lebar, mengusap kepalanya, lalu berkata, "Tie Zhu, baru setengah tahun tidak bertemu, tapi kamu sudah tumbuh lebih tinggi."
Kedua orang tua Tie Zhu segera berdiri. Ayahnya tersenyum dan berkata, "Kakak Keempat, kedatanganmu pas sekali. Silakan masuk." Ia lalu menoleh ke Tie Zhu dan menambahkan, "Tie Zhu, cepat siapkan kursi untuk pamanmu."
Dengan wajah berseri, Tie Zhu segera mengambil sebuah kursi, meletakkannya di samping meja, lalu mengelapnya dengan lengan bajunya sambil menatap penuh harap.
Pria paruh baya itu mengedipkan mata dan bercanda, "Sejak kapan kamu jadi serajin ini? Dulu rasanya tidak seperti ini."
Ayah Tie Zhu melirik anaknya sekilas dan berkata sambil tersenyum tipis, "Anak ini sejak tadi terus menanyakan kapan kamu akan datang."
Pria paruh baya itu melihat wajah Tie Zhu yang mulai memerah, lalu tertawa kecil dan berkata, "Tie Zhu, paman keempatmu tidak lupa dengan janji yang pernah kubuat padamu."
Setelah itu, ia mengeluarkan dua buah buku dari dalam bawaannya dan meletakkannya di atas meja.
Melihat hal itu, mata Tie Zhu langsung berbinar. Ia berseru gembira dan segera mengambil kedua buku tersebut, membolak-balik halamannya dengan penuh semangat. Rasa senangnya hampir tak bisa ia sembunyikan.
Ibu Tie Zhu memandang putranya dengan senyum hangat, lalu menoleh ke pria paruh baya itu dan berkata, "Kakak Keempat, kakakmu selalu memikirkanmu. Kali ini, tinggallah beberapa hari lagi bersama kami."
Pria paruh baya itu menggeleng pelan dan menjawab, "Kakak Ipar Kedua, akhir-akhir ini keluarga sedang memiliki banyak urusan. Aku harus berangkat kembali besok pagi. Setelah kesibukan ini selesai, aku pasti akan datang lagi menemui kalian." Ia menatap kakak laki-lakinya dengan raut penuh penyesalan.
Ayah Tie Zhu menghela napas dan berkata, "Jangan dengarkan istriku. Besok berangkatlah dengan tenang. Urusan keluarga tentu lebih penting. Kita masih bisa bertemu di lain waktu."
Pria paruh baya itu kemudian menatap ayah Tie Zhu dan bertanya, "Kakak Kedua, usia Tie Zhu sekarang lima belas tahun, bukan?"
Ayah Tie Zhu mengangguk dan menjawab, "Setelah tahun ini berakhir, bocah ini akan menginjak usia enam belas. Waktu benar-benar berlalu cepat, lebih dari sepuluh tahun terasa seperti sekejap." Sambil berbicara, ia menatap Tie Zhu dengan penuh kasih.
Peluang Masuk Sekte Heng Yue
Pria paruh baya itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada serius, "Kakak Kedua, Kakak Ipar Kedua, ada satu hal penting yang perlu kukatakan. Sekte Heng Yue sedang membuka penerimaan murid. Tahun ini, keluarga mendapat tiga jatah rekomendasi, dan satu di antaranya ada di tanganku."
Mendengar itu, ayah Tie Zhu tertegun. Wajahnya memucat saat ia berkata dengan suara tertahan, "Sekte Heng Yue? Sekte Heng Yue yang dipenuhi para makhluk abadi itu?"
Pria paruh baya itu tersenyum tipis, mengangguk, lalu berkata, "Kakak Kedua, benar, sekte itulah. Sekte para abadi. Keluarga kita masih termasuk keluarga besar di wilayah ini, sehingga memiliki hak untuk merekomendasikan calon murid. Kau juga tahu anakku sendiri dia tidak berbakat dalam belajar, meski cukup mahir memainkan pedang dan pisau. Aku ragu sekte abadi akan menerimanya. Jatah ini sangat berharga. Sejak kecil aku melihat Tie Zhu cerdas dan tekun membaca. Mungkin dialah yang memiliki peluang."
Mendengar itu, wajah ibu Tie Zhu langsung berbinar. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Kakak Keempat, ini… ini benar-benar…"
Pria paruh baya itu tersenyum, mengusap kepala Tie Zhu, lalu berkata dengan mantap, "Kakak Kedua, Kakak Ipar Kedua, putuskanlah dengan tenang. Biarkan Tie Zhu mencoba. Jika ia benar-benar diterima, itu adalah takdir dan keberuntungannya sendiri."
Tie Zhu menatap orang tua dan paman keempatnya secara bergantian, kebingungan jelas terlihat di wajahnya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Dengan suara ragu, ia bertanya, "Yang abadi? Apa maksudnya yang abadi?"
Ekspresi pria paruh baya itu berubah serius. Ia menatap Tie Zhu dalam-dalam dan berkata, "Tie Zhu, makhluk abadi adalah mereka yang mampu terbang di angkasa dan melampaui batas manusia biasa. Dunia mereka bukan sesuatu yang mudah dipahami oleh orang awam."
Tie Zhu masih belum sepenuhnya mengerti, tetapi rasa penasarannya terhadap makhluk abadi perlahan tumbuh di dalam hatinya.
Ayah Tie Zhu tiba-tiba bangkit dengan wajah penuh kegembiraan. Ia menarik istrinya dan hendak membungkuk dalam-dalam kepada pria paruh baya itu.
Namun pria itu segera menahan mereka dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Kakak Kedua, apa yang kau lakukan? Ibuku wafat lebih awal. Jika bukan karena ibu Kakak Kedua yang merawatku dulu, aku tidak akan bisa berdiri seperti sekarang. Tie Zhu adalah keponakanku. Ini hanyalah hal kecil yang seharusnya kulakukan."
Air mata mengalir di wajah ayah Tie Zhu. Ia menepuk punggung pria paruh baya itu dengan kuat, mengangguk berulang kali, lalu menatap Tie Zhu dan berkata dengan tegas, "Ingat baik-baik, Wang Lin. Jangan pernah melupakan kebaikan paman keempatmu kepada keluarga kita. Jika kau melupakannya, aku tidak akan mengakuimu sebagai anakku!"
Hati Tie Zhu bergetar hebat. Meski ia belum memahami apa pun tentang dunia para abadi, ia bisa merasakan betapa pentingnya perkara ini bagi orang tuanya.
Tanpa ragu, ia berlutut di hadapan paman keempatnya dan bersujud beberapa kali dengan penuh hormat.
Pria paruh baya itu menarik Tie Zhu mendekat, menepuk bahunya, lalu berkata sambil tersenyum, "Anak yang baik. Bersiaplah dengan sungguh-sungguh. Aku akan datang menjemputmu menjelang akhir bulan."
Malam itu, Tie Zhu beristirahat lebih cepat dari biasanya. Dari dalam kamar, ia masih bisa mendengar suara ayahnya yang berbincang dengan paman keempat.
Suasana mereka terdengar penuh kegembiraan. Ayahnya sangat bahagia; meski jarang menyentuh arak, malam itu ia tetap meneguk beberapa cangkir bersama paman keempat.
"Makhluk abadi… seperti apa sebenarnya mereka?" Hati Tie Zhu dipenuhi rasa senang yang sulit dijelaskan. Di dalam benaknya, ia sadar bahwa ini adalah sebuah peluang dan kesempatan langka untuk melihat dunia di luar desa kecilnya.
Keesokan paginya, paman keempat berpamitan sejak dini hari. Tie Zhu dan kedua orang tuanya mengantarnya hingga ke gerbang desa.
Dalam perjalanan pulang, Tie Zhu memperhatikan ayahnya dengan saksama. Wajah sang ayah tampak jauh lebih segar, dan sorot matanya dipenuhi harapan.
Harapan itu bahkan terasa lebih besar dibandingkan saat ia berharap Tie Zhu lulus ujian distrik.
Berita Menyebar dan Perubahan Sikap Desa
Di desa kecil seperti ini, tak ada kabar yang benar-benar bisa disembunyikan, bahkan hal sepele sekali pun.
Tak lama kemudian, berita itu menyebar ke seluruh penjuru desa. Dari mulut ibu Tie Zhu hingga para tetangga, semua orang datang berkunjung.
Tatapan mereka kepada Tie Zhu kini terasa berbeda. Ada yang penuh kekaguman, ada pula yang menyimpan rasa iri dan cemburu.
"Keluarga Wang benar-benar diberkahi. MerSeka memiliki putra yang luar biasa, diterima oleh Sekte Heng Yue."
"Aku sudah memperhatikan Tie Zhu sejak kecil. Anak itu pintar dan rajin. Sekarang menjadi murid Sekte Heng Yue, masa depannya pasti cerah."
"Tie Zhu, kau berbakat. Jika kelak berhasil, jangan lupa kembali ke desa ini."
Ucapan-ucapan itu terus terdengar di telinga Tie Zhu, seolah-olah ia telah resmi menjadi murid Sekte Heng Yue.
Setiap kali orang tuanya mendengar pujian tersebut, senyum tak pernah lepas dari wajah mereka.
Kerutan yang selama ini terukir perlahan memudar, digantikan oleh kebanggaan dan harapan baru.
Setiap kali Tie Zhu berjalan sendirian di desa, para penduduk akan segera menghampirinya dengan wajah penuh semangat, melontarkan berbagai pertanyaan tanpa henti.
Bahkan ada beberapa orang tua yang sengaja menyuruh anak-anak mereka mendekat, menjadikan Tie Zhu sebagai contoh yang patut ditiru.
Waktu berlalu begitu cepat. Dalam setengah bulan, kabar tentang Tie Zhu yang akan menjadi murid Sekte Heng Yue telah menyebar luas.
Bukan hanya warga desa itu saja, penduduk dari desa-desa sekitar pun berdatangan hanya untuk melihatnya.
Tak seorang pun datang dengan tangan kosong. Setiap tamu membawa hadiah. Orang tua Tie Zhu tak sanggup menolak kebaikan tersebut, namun setiap kali tamu berpamitan, mereka diam-diam berniat menyiapkan hadiah balasan.
Seperti yang sering dikatakan ayah Tie Zhu, "Putra kita akan menapaki jalan keabadian. Ia tak boleh berutang budi pada siapa pun. Semua yang datang akan kita balas dengan pantas."
Pesta Keluarga Wang dan Munculnya Konflik
Tak lama kemudian, keluarga Wang pun mengetahui bahwa paman keempat telah menyerahkan jatah rekomendasi putranya sendiri kepada Tie Zhu. Satu per satu anggota keluarga besar datang memberikan ucapan selamat.
Ayah Tie Zhu memberi perhatian besar pada kunjungan para kerabat itu. Dahulu, banyak dari mereka memandang rendah dirinya dan bahkan mengusirnya keluar dari keluarga. Kini, melihat mereka datang dengan sikap ramah, kepedihan yang ia pendam bertahun-tahun seakan menguap begitu saja.
Setelah berdiskusi singkat dengan istrinya, mereka memutuskan untuk menjamu semua tamu dengan layak.
Ayah Tie Zhu mengeluarkan banyak uang untuk menyewa guru desa agar menuliskan undangan dan mengirimkannya kepada para kerabat.
Guru desa menolak menerima bayaran. Ia hanya meminta agar Tie Zhu mengakui bahwa ia tumbuh besar dengan belajar di bawah bimbingannya. Tie Zhu menyetujuinya tanpa ragu, karena hal itu memang benar.
Begitu undangan terkirim ke sebagian besar anggota keluarga Wang, jumlah tamu yang datang melonjak drastis. Ayah Tie Zhu pun terpaksa memindahkan lokasi jamuan ke alun-alun desa dan mengadakan pesta besar.
Para penduduk desa ikut membantu menyambut tamu. Di sela obrolan, pujian terhadap Tie Zhu terus mengalir tanpa henti.
Ayah Tie Zhu membawa istri dan putranya berdiri di pintu masuk desa, menyambut setiap tamu secara langsung dan memperkenalkan Tie Zhu kepada para kerabat.
"Ini kakek ketigamu. Saat Ayah diusir dari keluarga, dialah yang diam-diam banyak menolong. Tie Zhu, ingatlah kebaikannya dan balaslah suatu hari nanti," kata ayah Tie Zhu sambil menopang seorang pria tua berambut putih.
Tie Zhu segera mengangguk. Pria tua itu menatapnya dengan saksama lalu berkata, "Kakak Kedua, waktu berlalu begitu cepat. Putramu sudah tumbuh besar. Masa depannya jelas lebih cerah daripada milikmu dulu."
Wajah ayah Tie Zhu langsung berseri. Ia tersenyum lebar dan menjawab, "Kakek Ketiga, sejak kecil Tie Zhu memang cerdas. Ia pasti akan melampauiku. Jangan berdiri terlalu lama. Istriku, tolong dampingi Kakek Ketiga."
Ibu Tie Zhu segera membantu lelaki tua itu menuju area pesta.
Setelah lelaki tua tersebut pergi, ayah Tie Zhu mendengus pelan lalu berkata pada Tie Zhu, "Orang tua itu dulu memandang rendah ayahmu dan memaksaku pergi. Sekarang setelah kau punya masa depan, dia datang memberi selamat. Begitulah sifatnya."
Tie Zhu mengangguk meski masih belum sepenuhnya memahami, lalu bertanya, "Apakah Paman Keempat akan datang hari ini?"
Ayah Tie Zhu menggeleng pelan. "Paman keempatmu sudah mengirim surat. Ia baru bisa kembali menjelang akhir bulan."
Saat itu, sebuah kereta lain berhenti di pintu masuk desa. Seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun turun dan menatap ayah Tie Zhu sambil tersenyum. "Kakak Kedua, selamat atas kabar baik ini."
Ekspresi ayah Tie Zhu tampak rumit sesaat sebelum ia menjawab, "Kakak."
Pandangan lelaki tua itu kemudian beralih pada Tie Zhu. Ia meneliti sebentar lalu tersenyum tipis. "Kakak Kedua, jadi inilah putramu? Tidak buruk. Mungkin saja ia benar-benar terpilih."
Ayah Tie Zhu mengerutkan kening, berdiri lebih tegak, lalu berkata dengan tegas, "Tie Zhu mungkin belum banyak pengalaman, tapi dia cerdas dan gemar membaca. Aku yakin dia memiliki peluang."
"Belum tentu," terdengar suara congkak dari dalam kereta. "Persyaratan sekte abadi sangat ketat. Anak seperti ini hanya akan membuang waktu." Sesaat kemudian, seorang pemuda berusia enam belas atau tujuh belas tahun melangkah turun.
Pemuda itu berwajah tampan, alisnya tajam, raut mukanya tegas, dan sorot matanya dipenuhi rasa meremehkan.
Ayah Tie Zhu menatapnya dengan tajam. Tie Zhu yang kini bernama Wang Lin juga memandang pemuda itu tanpa berkata sepatah kata pun.
Wajah lelaki tua itu langsung berubah. Ia membentak, "Wang Zhuo! Bagaimana caramu berbicara?! Ini Paman Kedua dan adikmu, Wang Lin! Mengapa kau tidak memberi salam?"
Ia kemudian menoleh pada ayah Tie Zhu. "Anakku kurang ajar, Kakak Kedua. Abaikan saja ucapannya, tapi…"
Tiba-tiba ia berbalik lagi dan berkata, "Namun Kakak Kedua, diterima oleh sekte abadi bukan perkara sepele. Semua ini soal takdir. Kali ini, karena Sekte Heng Yue sangat tertarik pada anakku, keluarga Wang memperoleh tiga jatah rekomendasi dan salah satunya miliknya."
Ayah Tie Zhu mendengus dingin. "Jika anakmu bisa diterima, maka anakku pun pasti mampu!"
Pemuda itu tertawa kecil, sama sekali tak peduli. Dengan nada merendahkan, ia berkata, "Jadi kau Paman Kedua? Aku sarankan jangan terlalu berharap. Jalan kultivasi itu rumit. Dari sepuluh ribu orang, mungkin hanya satu yang berhasil. Bagaimana dia bisa dibandingkan denganku? Bahkan sebelum resmi masuk sekte, aku sudah dipilih langsung oleh seorang guru abadi."
Wajah lelaki tua itu tampak bangga. Ia pura-pura menegur putranya, lalu membawa pemuda itu menuju tempat pesta.
Setelah menahan amarahnya, ayah Tie Zhu menepuk bahu Tie Zhu dan berkata dengan suara berat, "Tie Zhu, jangan terlalu dipikirkan. Jika kamu tidak terpilih, itu bukan akhir segalanya. Tahun depan masih ada ujian distrik."
Wang Lin berbisik dengan penuh keyakinan, "Ayah, jangan cemas. Aku pasti bisa terpilih."
Ayah Tie Zhu menepuk bahu putranya perlahan. Sorot matanya memancarkan harapan yang nyaris tak tersembunyi.
Mereka lalu menyapa para kerabat satu per satu sebelum kembali ke tengah pesta. Di hadapan mereka terbentang keramaian orang-orang yang tengah bersuka cita, tawa dan suara gelas beradu terdengar dari segala arah.
Ayah Tie Zhu mengangkat suaranya dan berkata lantang, "Saudara-saudara sekalian, para kerabat, dan seluruh penduduk desa. Aku, Wang Tianshui, bukan orang terpelajar dan tak pandai berkata-kata. Namun hari ini, aku benar-benar bahagia karena putraku mendapat kesempatan untuk mencoba masuk Sekte Heng Yue. Ini adalah hari paling membahagiakan dalam hidupku. Aku tak akan banyak bicara—terima kasih atas kehadiran kalian semua."
Ia mengangkat cangkirnya dan menenggak anggur hingga habis, "Kakak Kedua, sejak kecil putramu memang cerdas. Dia pasti akan terpilih, sama seperti putra Wang Zhu."
"Kakak Kedua, memiliki anak seperti Tie Zhu berarti hidupmu tidak sia-sia. Di masa depan, kau tinggal menunggu hasilnya saja."
"Tie Zhu, jangan mengecewakan ayahmu! Apa pun yang terjadi, kau harus masuk Sekte Heng Yue!"
Suasana pesta dipenuhi kegembiraan. Ucapan selamat dan tawa terdengar dari segala penjuru.
Namun, di balik senyum ramah itu, ada pula orang-orang seperti ayah Wang Zhuo yang di luar tampak memberi selamat, tetapi di dalam hati tetap memandang rendah ayah Tie Zhu dan Wang Lin.
Ia melirik putranya, lalu menatap Tie Zhu dengan perasaan tak senang. Tindakan Kakak Keempat benar-benar di luar dugaan, tetapi menurutnya para abadi tidak mungkin salah memilih. Tie Zhu, di matanya, tak memiliki peluang.
Tamu-tamu datang dan pergi silih berganti. Ayah Tie Zhu menarik Wang Lin dari satu meja ke meja lain, mengajak bersulang sambil memperkenalkan berbagai kerabat yang bahkan belum pernah di kenalnya.
Hari itu, ayah Tie Zhu minum jauh lebih banyak dari biasanya. Ia belum pernah merasakan penghormatan sebesar ini seumur hidupnya.
Pesta baru berakhir larut malam, dan para tamu mulai berpamitan. Saat suasana lengang dan tak ada yang memperhatikan, Wang Zhuo mendekat dan berbisik dengan senyum meremehkan, "Bodoh. Kau tidak akan terpilih. Kau tidak cukup pantas." Ia lalu pergi bersama ayahnya, meninggalkan senyum penuh penghinaan.
Setelah kembali ke rumah, Tie Zhu berbaring di atas tempat tidurnya. Dalam keheningan malam, ia menguatkan tekad di dalam hati dan apa pun yang terjadi, ia harus terpilih.
Perpisahan dan Awal Perjalanan
Setengah bulan berlalu dalam sekejap. Pada hari itu, paman keempat Tie Zhu akhirnya tiba kembali dengan kereta kuda.
Kedua orang tua Tie Zhu segera mempersilakan paman keempat masuk ke rumah. Pria paruh baya itu sekadar membasuh wajahnya sebelum berkata dengan tergesa, "Kakak Kedua, Kakak Ipar Kedua, kali ini aku tidak bisa berlama-lama. Aku harus segera membawa Tie Zhu pergi. Besok pagi, orang-orang dari Sekte Heng Yue akan datang menjemput para calon murid."
Ayah Tie Zhu tertegun sejenak. Bayangan kesedihan melintas di wajahnya, namun ia tetap berkata dengan suara tegas, "Baik. Tie Zhu, ikuti paman keempatmu. Jika kau diterima, belajarlah dengan sungguh-sungguh di Sekte Heng Yue. Jika tidak, jangan berkecil hati dan pulanglah ke rumah."
Tie Zhu mengangguk pelan, meski hatinya berat karena harus berpisah dengan kedua orang tuanya.
Ibunya kemudian keluar dari kamar sambil membawa sebuah bungkusan. Dengan suara lembut bercampur haru, ia berkata, "Tie Zhu, patuhi perkataan paman keempatmu dan jangan mencari masalah. Dunia di luar sana tidak seperti di rumah. Kau harus banyak bersabar. Ibu menyiapkan beberapa baju baru untukmu, juga ubi panggang yang paling kau sukai. Ibu akan merindukanmu. Jika nanti kau tidak terpilih, pulanglah tanpa ragu." Saat itu, matanya mulai berkaca-kaca.
Sejak lahir hingga kini, Tie Zhu belum pernah meninggalkan desa. Ini adalah pertama kalinya ia pergi jauh dari rumah.
Paman keempat menepuk pundaknya dan berkata dengan penuh perasaan, "Tie Zhu, kau harus lolos agar bisa membuat orang tuamu bangga. Kakak Kedua, Kakak Ipar Kedua, keluarga akan mengadakan perjamuan besar dalam beberapa hari. Aku benar-benar sibuk hari ini. Besok aku akan menjemput kalian. Saat itu, hasil untuk ketiga calon murid seharusnya sudah diketahui."
Tanpa menunda lagi, ia menarik Tie Zhu naik ke kereta, mengayunkan cambuk, dan kuda pun berlari menjauh.
Dengan mata basah, kedua orang tua Tie Zhu berdiri memandangi kereta kuda itu hingga menghilang di kejauhan.
"Tie Zhu belum pernah bepergian sejauh ini. Apakah dia akan diperlakukan buruk?" ujar ibu Tie Zhu sambil menggigit bibir, matanya penuh kekhawatiran.
Ayah Tie Zhu mengangkat pipanya, mengisapnya dalam-dalam, lalu berkata pelan, "Dia sudah cukup besar. Saatnya dia menghadapi takdirnya sendiri." Kerutan di wajahnya tampak semakin dalam.
